TENTANG

Rabu, 08 September 2010

Sri Utami: Guru yang Tak Sanggup Sekolahkan Anaknya

KOMPAS.com - Satu jam sudah Sri Utami berada di gubuk itu menanti hujan reda. Ia harus singgah ke tempat itu agar tak basah kuyup saat menjumpai murid-muridnya di pedalaman Boalemo, Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang.
-- Sri Utami

Saat hujan turun, Sri baru berjalan sekitar satu kilometer. Masih ada tiga kilometer perjalanan lagi yang menantinya. Perjalanan dengan medan berbukit dan dua sungai.

Begitulah kisah Sri berawal. Gubuk beratap rumbia dan tanpa tempat duduk itu selalu menjadi penolongnya saat kelelahan atau kehujanan. Tak jarang, Sri juga berteduh bersama beberapa ekor kambing yang takut basah.

Sri adalah seorang guru yang mengajar di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Bila musim hujan tiba, jalanan licin dan becek menjadi "musuhnya", karena Sri terpaksa menenteng sepatu bututnya agar tak dimakan lumpur.

"Ini sepatu saya satu-satunya dan saya akan lebih membutuhkannya saat musim kemarau tiba," ujar perempuan berjilbab itu tersenyum.

Tak sanggup

Sri, perempuan asli Surabaya, Jawa Timur, itu terlihat sangat sederhana. Bukannya ingin berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan. Jangankan membeli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya saja ia tak sanggup.

Diakui Sri, putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya. "Itupun karena biayanya hasil patungan sanak saudara di sana. Sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang," ungkapnya.

Gaji dua ratus lima puluh ribu yang diterimanya setiap bulan hanya habis untuk makan. Sri dan dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, belum bisa berbuat banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi.

Sejak pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa menghasilkan banyak uang. Ia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya menjadi pendidik saat usianya baru menginjak dua puluh tahun.

Berakhir di ladang

Sri adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1984. Ia mengawali tugasnya di SD Al Jihad, Surabaya. Saat itu, gajinya hanya lima belas rupiah.

Selama mengajar, Sri juga memberanikan diri kuliah di Universitas Tri Tunggal, Surabaya, meski gajinya tentu tak cukup untuk itu. Beruntung, Sri selalu menerima beasiswa dan akhirnya sukses meraih gelar sarjana.

Setelah menikah, pada 2004 Sri memilih ikut suaminya ke Lampung. Di tanah Sumatera itu hidupnya tak menjadi lebih baik. Ia mengajar tujuh mata pelajaran dengan imbalan seratus tujuh puluh ribu rupiah. Kala itu, penghasilannya dari mengajar tersebut hanya cukup untuk membeli sekarung beras.

Tak ingin hidup kekurangan berlama-lama, pada 2009 lalu Sri dan suaminya menerima tawaran program transmigrasi ke Gorontalo. Meski di daerah terpencil, Sri pun masih ngotot menjadi guru abdi. Baginya, mengajar adalah nadinya.

Pernah, Sri berpikir dan mencoba untuk berhenti saja menjadi guru dan terjun sebagai buruh tani. Namun, sehari pun ia tak bisa melakukannya karena Sri mengaku terlanjur cinta pada dunia pendidikan. Titel sarjana yang diraihnya susah payah, menjadi beban tersendiri baginya. Sri tak boleh menyia-nyiakan ilmunya.

Kegigihan Sri sebagai guru abdi menghantarkannya menjadi satu dari tujuh pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori guru pejuang. Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.

Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya pilu setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya.

"Saya sibuk mengajar, sedangkan anak saya tak bisa sekolah," ucapnya lirih.

Di sisi lain, di usianya yang kini menginjak 46 tahun, harapan Sri menjadi Pegawai Negeri Sipil pun tertutup sudah. Pipinya yang kurus kerap dihiasi air mata kesedihan dan harapan. Harapan agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Pun, harapan supaya besaran gajinya kelak akan layak, untuk mengubah nasib putranya agar tak berakhir di ladang.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/28/1206303/Guru.yang.Tak.Sanggup.Sekolahkan.Anaknya

Tak Bersiswa, 8 Sekolah "Tutup Usia"

DENPASAR, KOMPAS.com - Sejumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta di Bali terpaksa ditutup karena tidak memeroleh siswa untuk kelangsungan operasional sekolah-sekolah tersebut pada tahun ajaran 2009/2010. Demikian pula sejumlah Sekolah Dasar (SD) yang murid sedikit dengan lokasi yang saling berdekatan juga digabungkan.

"Digabungkan sebagai tindakan efisiensi, tanpa mengurangi kelancaran proses belajar mengajar," kata Kabag Publikasi dan Dokumentasi pada Biro Humas dan Protokol Pemprov Bali I Ketut Teneng di Denpasar, Sabtu (4/9/2010).

Ia mengatakan, akibat penggabungan dan sejumlah sekolah yang terpaksa tidak beroperasi lagi itu menyebabkan fasilitas pendidikan di Bali berkurang. Namun, khusus Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) bertambah karena adanya pembangunan fasilitas baru.

Saat ini, jumlah SD hanya tercatat 2.456 buah untuk menampung 413.490 murid, yang berarti ada penggabungan 18 unit, karena tahun 2009 di Bali tercatat memiliki 2.474 SD dengan 396.817 murid. Sementara itu, jumlah SMP swasta yang tutup sebanyak empat buah dari 394 buah yang seluruhnya menampung 171.712 siswa di delapan Kabupaten dan satu kota di daerah.

Ketut menjelaskan, empat SMA swasta juga tidak berlanjut dalam proses belajar mengajar, sehingga fasilitas pendidikan itu berkurang dari 182 buah kini menjadi 178 buah yang seluruhnya menampung 78.020 siswa.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/04/13000929/Tak.Bersiswa..8.Sekolah..quot.Tutup.Usia.quot.

Kerjasama Kemdiknas-KPK: 2011, Pendidikan Antikuropsi Diluncurkan

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menyambangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (6/9/2010). Namun, kedatangan Mendiknas tidak dalam kaitan proses penyelidikan ataupun penyidikan kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, melainkan untuk membahas program kerjasama antara Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan KPK dalam pendidikan antikorupsi.
Kata kuncinya, 15-20 tahun korupsi tidak jamannya lagi mulai pra sekolah dan perguruan tinggi, kita juga melibatkan masyarakat.
-- Mohammad Nuh

Rencananya, pendidikan anti korupsi akan dimasukan dalam kurikulum dari tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi. "Kami hadir di KPK untuk menyiapkan program, pendidikan anti korupsi jadi pendidikan karakter yang dimulai pada tahun ajaran 2011," tutur Nuh kepada wartawan selepas pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Haryono Umar.

Nuh mengungkapkan, pihak KPK telah sepakat membentuk tim kecil dengan Kemdiknas untuk membahas substansi kurikulum dan evaluasi tentang pendidikan antikorupsi tersebut. "Kata kuncinya, 15-20 tahun korupsi tidak jamannya lagi mulai pra sekolah dan perguruan tinggi, kita juga melibatkan masyarakat," tuturnya.

Menurutnya, pendidikan antikorupsi tidak harus menjadi mata pelajaran secara terpisah, namun bisa dimasukan ke dalam silabus-silabus mata pelajaran. Pihaknya pun menekankan, program pendidikan antikorupsi dimasukan dalam pembentukan karakter di kurikulum sekolah.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Haryono Umar, yang ditemui bersama-sama dengan Mendiknas mengungkapkan, pihaknya juga membina kerjasama dengan Kemdiknas dalam hal pelaporan gratifikasi atau laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/06/1829524/2011..Pendidikan.Antikuropsi.Diluncurkan

Beasiswa S-2 25 Pegawai Pemerintah Studi ke Inggris

JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 25 karyawan dari berbagai instansi pemerintah, baik kementerian maupun dinas pemerintahan pusat dan daerah, menerima beasiswa S-2 ke Inggris dari Decentralization Support Facility-Decentralization Education and Training (DSF-DET) Indonesia. Keberangkatan mereka akan dilepas pada Selasa (7/9/2010) di Jakarta.

Pemberian beasiswa tersebut merupakan salah satu komitmen penandatanganan nota kesepakatan (memorandum of understanding/MOU) pada November 2007 silam antara Pemerintah RI dan para donor atau DSF yang sekarang merupakan multi-donor trust fund (MDTF) yang dipimpin oleh pemerintah. Kesepakatan tersebut bertujuan utama untuk mendukung agenda desentralisasi Pemerintah Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan upaya-upaya peningkatan pelayanan publik bagi masyarakat.

Dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (6/9/2010), Sekretaris Jenderal Kepala Pusat Administrasi Kerja Sama Luar Negeri Nuryanto mengatakan, dalam lingkup desentralisasi, DSF berupaya mencapai tujuan-tujuannya dengan memenuhi tiga perannya yang dirancang untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan; penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, baik untuk sisi demand dan supply dari penyediaan pelayanan di daerah sehingga menekankan pada upaya menggalakkan akuntabilitas pemerintah daerah ke masyarakat (downward) dan akuntabilitas pemerintah daerah ke pemerintah pusat (upward),
kapasitas pemerintah, terutama bagi pemerintah daerah, serta harmonisasi, keselarasan, efisiensi dan efektivitas bantuan pembangunan.

Sementara melalui Program Desentralisasi Pendidikan dan Pelatihan, upaya penawaran beasiswa ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para karyawan di lembaga-lembaga pemerintah, baik di pusat maupun daerah, terutama pada bidang-bidang yang sangat strategis dalam pelayanan masyarakat, kebijakan desentralisasi keuangan, serta pertanggungjawaban sosial.

Adapun beberapa perguruan tinggi Inggris yang akan menjadi tujuan studi para penerima beasiswa tersebut, antara lain perguruan-perguruan tinggi yang memiliki relevansi dengan program S-2 satu tahun (master) untuk bidang-bidang studi terkait. Beberapa perguruan tinggi itu antara lain University Birmingham, (Decentralized Governance and Development/Governance and Democratic Participation/Urban Governance for Development), University Southampton (Citizenship and Democracy), King’s College London (Public Services Policy & Management), London School of Economics (Social Policy and Development), University of Warwick (Public Administration), serta University of Surrey.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/06/16593364/25.Pegawai.Pemerintah.Studi.ke.Inggris

SMAN 15 Tangerang: Ijazah Mohareni Hanya Boleh Difotokopi

JAKARTA, KOMPAS.com — Meskipun orangtuanya sudah berniat mencicil tunggakan administrasi, pihak sekolah tetap menahan ijazah Mohareni, siswi kelas III SMAN 15 Tangerang. Mereka melarang Mohareni meminjam ijazah tersebut untuk keperluan melamar kerja. Ijazahnya hanya boleh difotokopi.
Saya sangat kecewa terhadap pihak sekolah karena untuk meminjamnya pun tidak boleh.
-- Fadiloes Bahar

"Tunggakan saya sebesar Rp 3 juta, tapi saya berniat untuk mencicilnya kok," ungkap Fadiloes Bahar, orangtua Mohareni, kepada Kompas.com, Rabu (25/8/2010) di Jakarta.

Menurut Fadiloes yang juga berprofesi sebagai guru, di SMP 8 Tangerang, uang administratif yang masih ditunggak itu adalah uang bimbingan belajar, uang pendaftaran awal tahun ajaran baru, dan banyak lagi.

"Saya sangat kecewa terhadap pihak sekolah karena untuk meminjamnya pun tidak boleh," lanjut dia.

Sebagai jalan keluar, pihak sekolah sementara ini akan memberikan fotokopi ijazah bagi siswanya yang ingin melamar pekerjaan atau melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.

"Sekolah berjanji, asalkan biaya administratif lunas, maka ijazah asli akan diberikan," ujar Fadiloes.

Seperti diberitakan sebelumnya, Rabu ini, ijazah Mohareni ditahan pihak sekolah hanya karena ia belum melunasi biaya administratif.

"Anak saya sudah tamat di SMAN 15 Tangerang. Karena ingin melamar kerja, dia harus punya ijazah asli. Saya sadar belum bisa melunasi biaya administratif, tapi saat hanya ingin meminjamnya pun tidak boleh," ujar Fadiloes.

Fadiloes mengungkapkan, kejadian tersebut juga terjadi pada siswa lain yang menunggak pembayaran biaya administratif. Padahal, kata dia, dia sudah berinisiatif mencicil tunggakan itu.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/25/15075265/Ijazah.Mohareni.Hanya.Boleh.Difotokopi

Mendiknas: Penerapan SKS Tak Prioritas

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan Nasional tidak akan gegabah menerapkan sistem satuan kredit semester atau SKS untuk tingkat SMP maupun SMA sederajat. Meskipun usulan tersebut dinilai baik, akan tetapi pelaksanaannya dari sisi waktu, materi serta kesiapannya harus dikaji dan dipertimbangkan terlebih dulu.
Memang ada pemikiran atau kajian tentang sistem SKS ini. Akan tetapi, apakah itu langsung ini diterapkan. Saya kira tidak.
-- M Nuh

Penerapannya, diakui tidak prioritas dan tidak cukup jika hanya dikaji dua atau tiga tahun lagi. Demikian disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh saat ditanya pers, seusai rapat mengenai Badan Hukum Pendidikan di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (26/8/2010) sore.

"Memang ada pemikiran atau kajian tentang sistem SKS ini. Akan tetapi, apakah itu langsung ini diterapkan. Saya kira tidak. Mendiknas tidak akan gegabah. Sesuatu yang baik, itu harus terus dipertimbangkan dari sisi ketepatan dan waktu. Apakah tepat SKS ini harus diterapkan sekarang? Ini perlu diperdalam dan dikaji lagi," ujarnya.

Menurut Nuh, selain soal waktu, yang harus dipertimbangkan juga adalah soal sistem SKS itu sendiri. Sekarang ini, selain wacana penerapan sistem SKS, apakah ada hal yang lebih urgensi lagi yang harus diselesaikan, seperti sekarang ini ada persoalan pemerataan disparitas pendidikan. "Lalu soal rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan soal SBI. Itu juga masih jadi masalah. Sekarang ada usulan baru lagi. Jelas, itu, kan menambah masalah," tambah Nuh.

Nuh menilai persoalan yang mendasar sekarang adalah mengenai pemerataan disparitas pendidikan, selain soal kurikulum ke depan yang harus bisa menjawab tantangan. "Jadi, ke depan harus dilakukan kajian lebih dulu. Paling tidak, sistem SKS tersebut itu harus memasukan sisi karakter. Juga memasukan soal inovasi dan kreativitas. Karena itu, sistem SKS tidak dalam waktu dua atau tiga tahun ini," jelasnya.

Lebih jauh Nuh mengatakan, penerapan sistem SKS, selain harus mempersiapkan fasilitas kelas, juga kesiapan guru yang akan mengajarnya. "Kalau orang mengambil sistem SKS, prinsipnya setiap pelajaran harus bisa dipindah ke setiap semester lainnya. Misalnya, ada lima mata pelajaran. Jika di semester genap tidak dipindah ke semester ganjil, maka meskipun sudah selesai di semester ganjil tidak bisa ambil yang di semester genap. Kalau dipindah, apakah gurunya ada, dan ruang kelas nya juga ada? Karena kalau mata pelajarannya dipindah harus siap dengan ruang dan guru yang mengajarnya," tanya Nuh.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/26/19234125/Mendiknas:.Penerapan.SKS.Tak.Prioritas

Pendidikan Karakter Diintegrasikan

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan karakter yang bakal diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter yang bakal digencarkan dan diberi perhatian khusus dalam praksis pendidikan nasional ini dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal di Jakarta, Selasa (31/8/2010), mengatakan pendidikan karakter yang didorong pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam kurikulum, namun selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat.

"Kita mintakan pada guru supaya nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler itu disampaikan dengan jelas pada siswa. Pendidikan karakter itu bisa terintegrasi juga menjadi budaya sekolah. Jadi, pendidikan karakter yang hendak kita terapkan secara nasional tidak membebani kurikulum yang ada saat ini," jelas Fasli.


Pendidikan karakter yang diminta yang dapat membangun wawasan kebangsaan serta mendorong inovasi dan kreasi siswa. Selain itu, nilai-nilai yang perlu dibangun dalam diri generasi penerus bangsa secara nasional yakni kejujuran, kerja keras, menghargai perbedaan, kerja sama, toleransi, dan disiplin.

Menurut Fasli, sekolah bebas untuk memilih dan menerapkan nilai-nilai yang hendak dibangun dalam diri siswa. Bahkan, pemerintah mendorong muculnya keragaman bentuk pelaksanaan pendidikan karakter.

Kementeraian Pendidikan Nasional, tambah Fasli, telah mengumpulkan contoh-contoh pelaksanaan pendidikan karakter yang sudah berjalan di sekolah. Setidaknya ada 139 contoh praktis pendidikan karakter dari berbagai lembaga pendidikan yang bisa juga diterapakan di sekolah lain.

Program-program di sekolah seperti pramuka, kantin kejujuran, sekolah hijau, olimpiade sains dan seni, serta kesenian tradisional, misalnya, telah sarat dengan pendidikan karakter. Tinggal guru yang mesti memunculkan nilai-nilai dalam program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah.

Untuk menyukseskan program pendidikan karater, pemerintah menggelar pelatihan bagi 263 ribu pengawas dan kepala sekolah. Selai itu, setiap tahun akan dilaksanaakan pertemuan nasional untuk membahas pendidikan karakter.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/31/19585479/Pendidikan.Karakter.Diintegrasikan

Sabtu, 04 September 2010

Kuantitas Minus Kualitas

Oleh Aang Kusmawan*

Episode demi episode, kejadian demi kejadian yang melanda lembaga pendidikan tinggi akhir-akhir ini cukup membuat hati siapa saja terenyuh. Pepatah lama ibarat jatuh tertimpa tangga rasa-rasanya menjadi kata-kata yang pas untuk menggambarkan kondisi itu.

Belum lagi usai masalah plagiasi yang menjamur, lagi-lagi data menunjukan bahwa angka pengangguran terdidik lulusan dari perguruan jumlahnya cukup tinggi. Bahkan diprediksikan tahun-tahun kedepan trennya akan mengalami kenaikan.

Tak urung hal tersebut mendorong lahirnya sejumlah pertanyaan, salah satunya, ada apa dengan lembaga pendidikan tinggi di negara ini? “wabah” apa gerangan yang sedang menghinggapi lembaga perguruan tinggi? Rasa-rasanya alih-alih menjadi solusi, kok lembaga pendidikan tinggi malah menjadi salah satu penyumbang nestapa bagi bangsa ini? Baiklah ada baiknya kita mencoba melihat kembali kuantitas dan kualitas perguruan tinggi kita.

Kuantitas bertambah

Jika menengok jumlah perguruan tinggi yang tersebar dari ujung barat sampai dengan ujung timur, rasa-rasanya kita patut bersyukur. Betapa tidak, jumlah lembaga perguruan tingi, baik swasta atau negeri, yang tercatat ternyata mencapai angka ribuan. Selain menengok jumlah, hal lain yang patut kita syukuri adalah persebaran keberadaan lembaga perguruan tinggi. Hari ini kita hampir tidak terlalu kesulitan untuk menemukan keberadaan perguruan tinggi di daerah-daerah yang lokasinya berada jauh dari ibu kota provinsi atau perkotaan.

Sekedar bukti sederhana, ini berdasarkan pengamatan pribadi penulis saja, sekarang di daerah Jampang, daerah selatan jauh Sukabumi, ada kurang lebih empat perguruan tinggi yang menyelenggarakan perkuliahan. Di daerah lain, seperti di daerah Tasikmalaya selatan atau Garut selatan kondisi yang sama juga demikian. Perguruan tinggi telah berkembang hingga jauh ke pedalaman. Terlepas dari stigma yang berkembang, setidaknya hal itu telah menunjukan bahwa jumlah perguruan tinggi kita meningkat tajam terutama di daerah kabupaten atau pedesaan. Konsekuensi logis dari hal ini adalah tentu saja jumlah peserta didik yang tercatat di perguruan tinggi mengalami lonjakan yang signifikan.

Tidak jauh berbeda dengan kondisi di pedesaan, kondisi di perkotaan pun demikian. Jumlah peserta didik di perkotaan mengalami kenaikan. Penyebabnya bukan hanya karena bertambahnya jumlah perguruan tinggi, akan tetapi lebih disebabkan oleh banyaknya perguruan tinggi yang membuka program-program baru. Program baru tersebut, bukan hanya dirtikan dengan pembukaan program studi baru, akan tetapi adalah pembukaan jenis penerimaan mahasiswa baru yang disesuaikan dengan kapasitas keuangan peminatnya atau “sesuai selera pasar”.

Lihat saja misalnya, program penerimaan mahasiswa baru yang dibuka oleh perguruan-perguruan tinggi semuanya tidak dilaksanakan lewat satu pintu. Rata-rata perguruan tinggi di perkotaan seperti Universitas Padjajaran (UNPAD), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) membuka jalur penerimaan mahasiswanya minimal dari tiga pintu yaitu enerimaan jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK), dan jalur khusus yang namanya disesuaikan oleh masing-masing universitas adalah adalah sederet nama program jalur penerimaana mahasiswa baru.

Akibatnya jumlah mahasiswa terdaftar di perguruan tinggi dari jenjang diploma sampai dengan sarjana mengalami penambahan siginifikan. Walhasil lembaga perguruan tinggi kita mengalami perubahan kuantitas cukup signifikan.

Minus kualitas

Perubahan secara kuantitas tersebut pada prosesnya juga telah diikuti oleh perubahan-perubahan lain dalam tubuh perguruan tinggi. Salah satu contohnya adalah pada masa studi dan beban studi yang harus di selesaikan, khususnya pada jenjang sarjana atau strata satu.

Di UPI misalnya, mahasiswa yang kuliah di jenjang sarjana hanya punya waktu maksimal empat belas semester atau tujuh tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Selain itu, beban studi di jenjang sarjana atau sering dikonversikan dalam bentuk satuan kredit semester (SKS) kini berjumlah seratus empat puluh SKS. Sebagai catatan saja, empat tahun yang lalu ketika penulis baru masuk keperguruan tinggi, beban studi yang harus di selesaikan oleh mahasiswa adalah sekitar 160 SKS. Artinya, kini beban untuk menjadi sarjana secara kasar mengalami pengurangan sekaligus pemotongan waktu kuliah.

Perubahan ini sekilas terlihat tidak berpengaruh apa-apa, namun jika di analisis secara mendalam hal ini ternyata meminjam istilah pansus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berdampak sistemik terhadap hiruk pikuk kehidupan universitas. Sekadar gambaran, mari kita lihat alur sistemik itu secara sederhana.

Pertama, kita coba bagi beban studi sebanyak 140 SKS tersebut sebanyak 20 SKS per semesternya, maka jumlah beban tersebut bisa di selesaikan dalam jangka waktu tujuh semester saja, atau sekitar tiga tahun setengah. Itu jika kita mau menghitung secara rata, akan tetapi berdasar pengalaman penulis, biasanya mahasiswa rata-rata mengambil beban SKS tiap semesternya sekitar dua satu sampai dua-dua SKS. Dengan demikian masa tempuh studinya akan menjadi lebih pendek lagi.

Beban studi sebanyak dua puluh SKS setiap semesternya bukanlah beban yang ringan. Jika di rata-ratakan ke dalam jumlah mata kuliah, maka lima hari dalam satu minggu akan di gunakan untuk berkuliah, dan setiap harinya ada tiga mata kuliah yang akan dipelajarinya. Dan rata-rata waktu untuk menyelesaikan satu mata kuliah setara dengan dua SKS yakni sekitar seratus menit bahkan biasanya lebih. Jadi jika dirata-ratakan maka selama satu hari maka enam jam dalam sehari tersebut di gunakan untuk kuliah. Jika di asumsikan perkuliahan di mulai pukul 07:00 maka secara kasar, tanpa memperhatikan faktor lain seperti dosen yang telat dan lainnya, kuliah baru selesai pukul 13:00.

Setelah perkuliahan selesai, mahasiswa tidak lantas kemudian bisa bernapas denan tenang karena setumpuk tugas kuliah sudah menanti. Misalnya saja, setiap satu mata kuliah diharuskan membuat satu makalah, maka setiap harinya mahasiswa setidaknya harus menyelesaikan satu makalah. Rata-rata waktu untuk menyelesaikan satu makalah, dari mulai mengumpulkan data (primer ataupun sekunder) sampai dengan pengetikan, pencetakan dan penjilidan itu membutuhkan waktu sekitar empat jam. Ini adalah waktu yang paling cepat.

Misalnya, mahasiswa selesai kuliah pukul 13:00 dan kemudian istirahat selama dua jam, maka baru sekitar pukul 19:00 mahasiswa baru bisa menyelesaikan makalah tersebut. sesudah itu, mahasiswa “lagi-lagi” belum bisa bernapas dengan tenang, karena tugas lain masih menuntut untuk diselesaikan, atau kalau juga tidak menyelesaikan tugas, minimalnya adalah membaca materi mata kuliah yang besok akan dipelajaari.

Dus, akhirnya mahasiwa bisa agak bernapas dengan lega sekitar pukul 21:00. akan tetapi paparan di atas tersebut di barengi dengan catatan, bahwa proses di atas tersebut berjalan tanpa hambatan dan didukung oleh syarat penting lain seperti komputer, printer, layanan internet tanpa gangguan dan tentu saja bekal uang yang cukup. Tanpa syarat itu, waktu untuk beraktivitas akan bertambah. Bahkan mungkin menjelang tengah malam mahasiswa bisa beristirahat.

Manusia bukanlah robot yang bisa digerakan sesuai dengan keinginan. Secara psikologis jika mahasiswa menjalankan rutinitas seperti itu pasti akan mengalami kelelahan dan tentu saja kejenuhan. Nah, di tengah kondisi seperti itu akan muncul niat-niat yang biasanya tidak terlalu terpuji. Menjiplak hasil karya orang lain kedalam makalah yang ditugaskan adalah hal yang sangat mungkin dilakukan, di tambah lagi dengan perkembangan internet, proses penjiplakan karya orang lain akan sangat mudah dilakukan.

Bayangkan jika setiap mahasiswa melakukan penjiplakan minimal satu makalah dari tiga makalah yang di tugaskan. Dan hal itu dilakukan terus menerus selama tiga tahun setengah, sampai dia lulus menjadi sarjana. Secara tidak langsung kita mendapatkan sebuah gambaran yang cukup jelas mengenai kualitas kesarjanan mahasiswa tersebut. Ya, sarjana yang dihasilkan tidak lebih dari sarjana “karbitan”, alias sarjana yang dipaksa matang sebelum waktunya. Seperti buah pisang yang dipaksa matang dengan karbit.

Dari ilustrasi tersebut, jawaban dari kenapa menjamurnya plagiasi dan meningkatnya angka pengangguran terdidik terjawab sudah. Plagiasi yang dilakukan adalah efek dari beban studi yang begitu padat, sehingga pada akhirnya melahirkan sarjana karbitan, dan tentu saja sarjana yang dipaksa matang tidak akan menjadi sarjana yang betul-betul berkualitas. Sehingga ketika mereka sudah lulus dan di hadapkan pada dunia luar yang ternyata tidak “ sejinak” dunia kampus, mereka kemudian sangat terkejut dan tidak bisa menghadapinya. Akhirnya mereka hanya menambah antrian panjang pengangguran terdidik. Tampaknya hal ini lebih sistemik dari pada bailout Bank Century sekalipun.

Perguruan tinggi kita memang mengalami perubahan kuantitas dengan signfikan, akan tetapi minus perubahan secara kualitas!

*Aang Kusmawan, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan Universitas Pendidikan Indonesia (UKSK UPI). Mahasiswa Pendidikan Ekonomi UPI.

MENYOAL UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

ednesday, 24 December 2008 00:09

Oleh Aang Kusmawan

Rabu, 18 Desember 2008 rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Dengan disahkannya UU ini berarti lengkaplah sudah landasan konstitusional pemberlakuan status badan hukum untuk satuan pendidikan. Pasca-disahkannya UU ini, reaksi masyarakat datang bertubi-tubi. Gelombang unjuk rasa dan upaya-upaya advokasi penolakan datang hampir dari seluruh penjuru pulau di republik ini. Hampir setiap media mewartakan usaha-usaha penolakan terhadap lahirnya UU ini. Sebagai tindak lanjut dari usaha advokasi ini, para elemen masyarakat sipil yang menolak undang-undang ini sepakat melakukan uji materi (judicial review) atas UU ini kepada Mahkamah Konstitusi.

Resistensi masyarakat terhadap lahirnya UU ini merupakan hal yang wajar karena melihat pada contoh sebelumnya, yaitu pemberlakuan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada beberapa perguruan tinggi negeri ternyata menuai beberapa fakta yang cukup menyesakkan bagi masyarakat Indonesia. Fakta tersebut yaitu berupa kenaikan biaya untuk masuk ke perguruan tinggi dan biaya kuliah di perguruan-perguruan tinggi tersebut. Kenaikan biaya pendidikan ini menjadi hal yang bermasalah, karena melihat realita masyarakat Indonesia yang masih diselimuti angka kemiskinan yang cukup tinggi.

Secara historis kemunculan UU BHP dan BHMN tidak bisa terlepas dari satu momentum penting pada tahun 2004. Momentum tersebut yaitu perjanjian GATS (General Agrement on Trade and Service). Perjanjian ini menjadi momentum yang penting, karena pertemuan tersebut menghasilkan sebuah keputusan yang cukup fenomenal dengan menjadikan pendidikan sebagai sektor jasa. Dengan dijadikannya pendidikan sebagai sektor jasa, maka hal ini sama artinya menjadikan pendidikan sebagai sektor yang diperjualbelikan (baca: komoditas). Indonesia sebagai salah satu peserta pertemuan tersebut mau tidak mau harus menaati peraturan tersebut. Bentuk badan hukum menjadi bentuk yang paling ideal untuk mewadahi dan mengatur pendidikan yang sudah menjadi komoditas.

Ide untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas merupakan ide yang muncul dari negara Barat. Lebih lanjutnya, tesis pasar menganggap bahwa keberadaan pemerintah dalam dunia pendidikan hanyalah akan menjadi penghambat karena birokrasi yang panjang dan berbelit. Oleh karena itu, keberadaan dan peran-peran pemerintah dalam dunia pendidikan harus diminimalisasi sebisa mungkin. Forum GATS menjadi tempat dan media yang strategis bagi negara-negara maju untuk menerapkan idenya tersebut kepada negara-negara berkembang.

Fenomena menguatnya paham-paham pasar dalam dunia pendidikan Indonesia menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan lagi. Pendidikan sebagai sektor yang bebas dari paradigma-paradigma pasar merupakan segmen usaha yang sangat potensial. Hampir semua masyarakat memerlukan dan mementingkan pendidikan. Oleh karena itu, menurut hukum pasar, ketika permintaan masyarakat untuk mengenyam pendidikan sangat tinggi maka harga akan ikut tinggi.. Dengan pemberlakuan status badan hukum, potensi laba bisa diambil dengan maksimal.

Dalam konteks seperti itu, kita mendapatkan sebuah gambaran sederhana yang cukup jelas mengenai UU BHP. Undang-undang ini merupakan pintu masuknya paham-paham pasar ke dalam sektor pendidikan. Bisa jadi ada pintu masuk lain yang akan dimanfaakan para penganut paham pasar guna memperoleh laba dari dunia pendidikan. Oleh karena itu, menjadi hal yang mendesak sifatnya untuk kemudian memberikan proteksi terhadap setiap elemen dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Pertama, manajemen pendidikan di tengah arus pasar yang menguat di hadapkan pada dua prinsip pasar yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu efisiensi dan efektifitas. Efisiensi dan fektifitas merupakan dua hal yang berkaitan. Efisiensi dan efektifitas menjadi sangat penting bagi penganut paham pasar, karena dengan efisiensi dan efektivitas bisa mendatangkan laba super bagi para pemodal. Hal ini tidak terlepas dari doktrin penganut kapitalis yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.

Dalam dunia pendidikan, efektivitas dan efisiensi merupakan dua hal yang juga tetap dibutuhkan. Akan tetapi efektivitas dan efisiensi dalam dunia pendidikan tidaklah bisa disamakan dengan efektivitas dan efisiensi paradigma pasar. Efektivitas dan efisiensi pendidikan tidak ditujukan untuk laba super, akan tetapi secara lebih mendalam ditujukan untuk keberhasilan dari tujuan pendidikan itu sendiri, baik secara khusus ataupun umum. Indikator nyata dari hal ini adalah, sejauh mana proses belajar-mengajar serta komunikasi yang dilakukan di sekolah antara guru dengan murid, guru dengan kepala sekolah, murid dengan kepala sekolah, serta guru dengan guru, dapat terlaksana dengan efektif dengan efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal.

Kedua, dunia pendidikan di tengah arus pasar (baca= globalisasi) yang sedemikian deras dihadapkan pada ekspansi budaya negara-negara Barat yang tampaknya mulai menjangkiti dunia pendidikan Indonesia. Budaya yang dimaksud adalah perilaku-perilaku hedonistis, pragmatis, dan individualistis. Ekspansi budaya ini menjadi hal yang cukup membahayakan bagi dunia pendidikan, karena dunia pendidikan merupakan hal yang sifatnya strategis dalam artian bahwa pendidikan berfungsi sebagai pembentuk peradaban yang adiluhung. Peradaban yang adiluhung itu sendiri diterjemahkan sebagai budaya saling menghormati, saling menolong, dan saling memajukan antara sesama masyarakat. Pertanyaan sederhananya adalah apakah proses belajar- mengajar di kelas telah dilaksanakan dengan proses-proses yang dialogis, kritis, dan demokratis? Proses-proses belajar-mengajar dengan dialogis, kritis, dan demokratis akan secara tidak langsung membawa peserta didik untuk menghormati proses dan tidak sekadar mengejar nilai akhir. Dengan proses yang dialogis terjadi interaksi yang sifatnya konstruktif. Dengan adanya kekritisan berarti siswa dan guru diajak untuk selalu berlomba berpikir mengenai materi dan proses belajar-mengajar yang disampaikan. Dengan budaya berpikir (kritis) sedikitnya mengajak peserta didik untuk selalu bertanya dan bertanya sehingga selalu haus akan ilmu pengetahuan. Terakhir dengan adanya budaya demokratis, berarti kita didorong untuk menghargai pendapat orang lain, karena demokrasi mengajarkan hal itu.

Dua hal yang saya sebutkan tadi merupakan hal yang harus betul-betul mendapatkan proteksi dari setiap elemen pendidikan yang tidak menyepakati masuknya paradigma dan paham-paham pasar ke dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, menjadi hal yang teramat penting sifatnya, agar setelah melakukan judicial review setiap elemen yang peduli akan nasib pendidikan menyusun grand strategy dalam menolak dan meminimalisasi paham-paham pasar ke dalam dunia pendidikan. Karena konstitusi hanyalah salah satu pintu masuknya paham-paham pasar ke dalam dunia pendidikan. Di tengah menguatnya paradigma dan paham-paham pasar yang dibonceng globalisasi, pintu masuk lain akan terus dicari dan bahkan dibuat penganut paham pasar. Kuat atau tidaknya serta keseriusan dari elemen-elemen masyarakat yang menolak paham pasar akan menjadi kunci dalam hal ini.

Terakhir, sulit untuk membayangkan ketika paradigma dan paham-paham pasar telah mendominasi dan menancap kuat dalam dunia pendidikan Indonesia. Menjadi hal yang sifatnya wajar apabila seluruh elemen masyarakat yang menolak paham pasar dalam dunia pendidikan Indonesia untuk selalu konsisten dalam usaha penolakan ini. Ke depan, tidak ada jaminan bahwa paradigma pasar tidak akan mendominasi kuat dalam dunia pendidikan Indonesia. Tetapi ke depan, siapa pun itu yang konsisten dalam menolak paradigma pasar dalam dunia pendidikan akan menjadi pahlawan sekaligus dewa penyelamat bagi dunia pendidikan Indonesia. Namanya akan selalu dikenang dan diingat oleh setiap masyarakat Indonesia sampai kapan pun.***

Penulis, Staf Litbang Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI, mengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar di Kabupaten Bandung Barat (KBB).



Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Rabu 24 Desember 2008

pendidikan berbasis kebangsaan

oleh M Fauzi Ridwan

Tepat pada tanggal 2 Mei 2010, segenap bangsa Indonesia memperingati hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momentum 2 mei menjadi sebuah upaya untuk terus memajukan sektor pendidikan. Lain halnya adalah pada momentum hardiknas ini kita pahami sebagai sebuah refleksi, sejauh mana pendidikan nasional telah melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu menciptakan suatu hal (produk) baik di bidang keilmuan dan bidang yang lebih praktis untuk kepentingan masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 1 disebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Secara implisit dalam pasal 1 tersebut mengemukakan paradigma filosofis bahwa pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan kita yang termaktub dalam pancasila.
Parameter pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan adalah bagaimana pendidikan mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang berpikir rasional (logis) dan mengimplementasikan pedoman dasar bangsa kita yaitu pancasila dan segala pemikirannya untuk kepentingan masyarakat. Maka praktek pendidikan nasional kita harus mencerminkan semangat melahirkan manusia-manusia yang memiliki pegangan identitas yaitu pancasila.
Salah satu institusi pendidikan formal yang mempunyai peranan penting dalam mengembangkan dan melahirkan sumber daya manusia yang mempunyai karaktersitik kebangsaan yaitu pancasila adalah perguruan tinggi. Kultur (budaya) ilmiah di dalam perguruan tinggi mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan peserta didik untuk mampu menciptakan sebuah produk pemikiran atau pun produk yang sifatnya praktis untuk digunakan masyarakat Indonesia (sesuai dengan pedoman dasar bangsa yaitu pancasila.. Bukti praktek itu adalah Soekarno, salah satu founding father kita yang memberikan sumbangsih produk pemikiran dalam membangun negara Indonesia yang lahir dari kultur ilmiah di perguruan tinggi dan nilai-nilai kebangsaan Indonesia Pancasila.
Pertanyaannya adalah apakah saat ini perguruan tinggi di Indonesia sudah mampu menciptakan sumber daya manusia yang lahir atas dasar pedoman pancasila dan mampu menciptakan sebuah produk (hasil) yang itu sesuai dengan kebudayaan bangsa atau Pancasila. Jika kita melihat saat ini, berbagai macam produk yang ada di Indonesia baik berupa produk ekonomi, hukum, pendidikan dan lainnya semuanya lahir dari sebuah sistem yang merupakan lahir dari import (barat), pertanyaan selanjutnya adalah apakah memang benar ada produk yang merupakan hasil ciptaan dari pendidikan Indonesia yang memiliki karakter sesuai dengan ke-Indonesia-an?.
Pertanyaan yang sulit dijawab tapi mesti kita mencari tahu karena sesuai dengan pernyataan yang di sampaikan oleh presiden RI pertama yaitu Soekarno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai negeri/bangsanya sendiri (termasuk mencintai segala produknya). Maka segala bentuk produk pemikiran dan yang bersipat praktis itu merupakan hasil karya yang diciptakan oleh manusia-manusia Indonesia dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa yaitu Pancasila. Semoga!.

Jumat, 03 September 2010

Pengusiran Paksa Anggota DPR RI dalam Kegiatan Sosialisasi Pelayanan Kesehatan Gratis.

Kasus Banyuwangi : Pengusiran Paksa Anggota DPR RI dalam Kegiatan Sosialisasi Pelayanan Kesehatan Gratis.
Walapun konstitusi (UUD 1945 pasal 28???) sudah mencantumkan jaminan kemerdekaan berserikat dan berkumpul tidak semerta-merta kebebasan tersebut dapat dinikmati masyarakat. Gangguan berkegiatan ternyata tidak hanya terjadi terhadap organisasi masyarakat sipil. Kerja-kerja anggota Parlemen tidak luput dari larangan.Kali ini pelakunya adalah organisasi masyarakat.
Pada 21-23 Juni 2010, Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning Proletariati, dan anggota Komisi IX ,Rieke Dyah Ayu Pitaloka mengadakan kunjungan kerja di Jawa Timur termasuk Banyuwangi. Agenda kunjungan adalah sosialisasi pelayanan kesehatan gratis selain menyerap aspirasi masyarakat di Jatim. Usai kunjungan kerja Ribka Tjiptaning , Rieke Ayu Dyah Pitaloka, dan Nursuhud bertemu dengan Persatuan Perawat Nasional Indonesia dan Ikatan Bidan Indonesia di salah satu rumah makan di Kelurahan Pakis, Banyuwangi pada 24 Juni 2010. Namun acara itu dibubarkan paksa oleh massa Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Beragama dan LSM Gerak. Massa menuduh forum pertemuan di rumah makan itu merupakan pengumpulan keluarga besar "Partai Komunis Indonesia atau PKI" .
Pembubaran paksa tersebut sudah dilaporkan ke Polisi. Berdasarkan laporan polisi nomor 240/VI/2010. FPI dan sejumlah ormas dilaporkan dengan dugaan Pasal 211, 212, 214 KUHP tentang kejahatan terhadap penguasa. Selain itu, mereka juga dilaporkan Pasal 335 dan 336 KUHP .
Pasal 211.
Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (KUHP 89, 92, 146 dst., 213 dst., 335 dst., 459 dst.)
Pasal 212.
(s.d.u. dg. UU NO. 18/Prp/1960.) Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat yang bersangkutan sedang membantunya, diancam karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (KUHP 89, 92, 146 dst., 213 dst., 335 dst., 459 dst., 525; Sv. 35 dst.)
Pasal 214.
(1) Paksaan dan perlawanan tersebut dalam pasal 211 dan 212, bila dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 460.)
(2) Yang bersalah dikenakan:
1o. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, bila kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka;
2o. pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila mengakibatkan luka berat; (KUHP 90.)
3o. pidana penjara paling lama lima belas tahun, bila mengakibatkan orang mati. (KUHP 215, 487.)
Pasal 335.
(1) (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1o. (s.d.u. dg. S. 1920-868.) barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan kekerasan, dengan suatu perbuatan lain atau dengan perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan ancaman kekerasan, dengan ancaman perbuatan lain atau dengan ancaman perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; (KUHP 52, 89, 146 dst., 167 dst., 170, 173, 175, 211 dst., 285, 289, 300, 332, 336, 365, 368, 414, 421 dst., 438 dst., 459 dst.; Sv. 7.; IR. 62; RBg. 498.)
2o. barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (KUHP 183, 310, 369.)
(2) Dalam hal yang dimaksud dalam nomor 2', kejahatan itu dituntut hanya atas pengaduan orang yang terkena kejahatan itu.

Pasal 336.
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun detapan bulan, barangsiapa mengancam:
dengan kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum dengan tenaga bersama;
dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang;
dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kesusilaan;
dengan suatu kejahatan terhadap nyawa;
dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran. (KUHP 170, 187 dst., 285, 313, 335, 338 dst., 354 dst., 406.)
(2) Bila ancaman itu dilakukan secara tertutis dan dengan suatu syarat, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. (KUHP 35, 170, 187, 285,.335 dst, 337; Uitlev. 2-3'.)

Penanganan hukum kasus ini dilakukan oleh Polisi. Polri sudah menurunkan tim untuk menyelidiki kasus pembubaran paksa oleh FPI di Banyuwangi. Kadiv Humas Mabes POLRI Irjen Pol Edward Aritonang mengatakan, tim ini akan menelusuri permohonan ijin acara, proses pemindahan acara, sampai tempat yang akhirnya dipakai. Tim juga akan menyelidiki ada tidaknya pembiaran dari aparat dalam pengamanan acara atau kejadian memang di luar perhitungan polres. Peristiwa di Banyuwangi itu tidak hanya menimpa seorang Rieke Dyah Pitaloka secara pribadi, dan tidak ingin penyidik menggunakan pasal 335, 336, 156 dan 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tapi juga penerapan pasal 212, karena Rieke saat itu menjalankan tugas sebagai anggota DPR RI .
Pasal 156.
(s.d.u. dg. S. 1918-292, 293; UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (KUHP 154 dst.)
Yang dimaksud dengan "golongan" dalam pasal ini dan pasal berikutnya ialah tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 170.
(1) Barangsiapa secara terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (KUHP 336.)
(2) Yang bersalah diancam:
1o. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila la dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka;
2o. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan luka berat; (KUHP 90.)
3o. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian. (KUHP 487.)
(3) Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini. (KUHP 336.)
Pihak DPP PDI Perjuangan yang disampaikan oleh Ketuanya Arif Budimanta menyampaikan bahwa pihaknya berharap kasus ini diselesaikan di ranah hukum, karena yang dilakukan oeh FPI adalah pelanggaran hak warga sekaligus pelanggaran konstitusi . Sama sekali membantah bahwa PDI Perjuangan meminta untuk pembubaran FPI.
Pengaduan Rieke dan kawan-kawan yang ditindaklanjuti oleh Polisi mendapat perlawanan dari terlapor. Puluhan orangPuluhan massa Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa di Mabes Polri, Jakarta, Senin (28/6). Sekjen FPI DPD DKI Jakarta, Habib Novel dalam pernyataan sikapnya, FPI mengatakan kasus Banyuwangi yang terjadi pada Kamis (24/6) lalu merupakan pertikaian antara kelompok anti PKI dengan pembela PKI .
Selain itu Polisi juga sudah melakukan pemeriksaan saksi, diantaranya Rieke. Pemeriksaan itu sendiri mengundang kontroversi. Kelalaian Polisi dalam memeriksa Rieke dan Nur Suhud sebagai anggota DPR yang seharusnya mendapatkan ijin dari Presiden . Selain alasan bahwa perijinan tempat kegiatan yang berpindah dari lokasi sebelumnya . Status Rieke yang belum mendapatkan ijin untuk diperiksa dari Presiden menjadi alasan Polisi untuk menghentikan penyidikan kasus ini. Tak kurang pula alasan bahwa pelapor sulit dihubungi. Hal ini disampaikan oleh Kabareskrim Komjen Pol Ito Sumardi di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo No I Jakarta Selatan, Rabu (7/7/2010 . Akhirnya Polisi menghentikan penyidikan kasus dengan alasan tidak cukup bukti. Sedangkan pembubaran acara dilakukan oleh panitia bukan oleh FPI.
Kasus ini menjadi sumir karena dr. Ribka Tjiptaning juga menyatakan. "Pembubaran diketahui aparat setempat, Kapolres Banyuwangi pun, sebenarnya mengetahui pembubaran itu," kata Ribka Tjiptaning usai pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (23/7) siang. Ribka membantah kalau pertemuan dibubarkan panitia. "Jadi tidak benar kalo dibubarkan panitia," tegasnya .
Pembiaran kasus kekerasan dan pelarangan berkumpul tidak hanya menimpa organisasi msayarakat atau individu. Dalam kasus ini tercermin Polisi terang-terangan melakukan pembiaran kekerasan dan pelarangan berkumpul bagi Anggota DPR yang sedang melaksanakan tugasnya.


http://www.antaranews.com/berita/1279698635/rieke-oneng-diperiksa-terkait-kasus-banyuwangi
http://www.detiknews.com/read/2010/08/05/105036/1414000/10/datangi-bareskrim-rieke-oneng-gelar-perkara-kasus-banyuwangi
http://www.iradiofm.com/informatif/i-fakta/988-polri-kirim-tim-selidiki-kasus-banyuwangi
http://www.detiknews.com/read/2010/08/05/105036/1414000/10/datangi-bareskrim-rieke-oneng-gelar-perkara-kasus-banyuwangi
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/politik/10/06/29/122230-pdip-bantah-minta-fpi-dibubarkan
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/06/28/121988-fpi-kasus-banyuwangi-pertikaian-antipki
http://news.okezone.com/read/2010/08/05/339/360031/339/oneng-nursuhud-diperiksa-tanpa-izin-presiden
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/10/06/28/122004-mabes-polri-acara-banyuwangi-belum-ada-izin
http://news.okezone.com/read/2010/07/07/339/350531/mabes-polri-kesulitan-ungkap-kasus-banyuwangi
http://berita.liputan6.com/hukrim/201007/287712/Ribka.Pembubaran.Pertemuan.Diketahui.Aparat

Kasus Buol, Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Aparat


Kasus bentrok warga Buol dengan polisi Polsek Biau sejak Senin malam (31/08/10)  hingga Rabu malam (01/09/10) di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah menyisakan duka kelam, tujuh masyarakat sipil tewas dalam kejadian tersebut. Saktipan, Herman Hasan, Amran Abjalu, Rasyid S Jopori, Ridwan D Majo, Arfan Salakea dan Muslimin Ashora adalah masyarakat sipil yang menjadi korban tewas tertembak di bagian kepala dalam bentrok di Buol[1].
Bentrok di Buol terjadi atas rasa ketidakpuasan dan sikap protes warga Buol yang menginginkan kejelasan informasi mengenai tewasnya seorang warga Buol, Kasmir Timumun (19 tahun) seorang tukang ojek yang tewas di penjara polsek Biau dengan cara gantung diri. Sekitar 300 warga mendatangi Kantor Polsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah pukul 21.30 selasa malam dan akhirnya bentrok antara warga dan polisi terjadi[2]. Protes yang dilakukan oleh warga Buol dilakukan atas kecurigaan mengenai ada kejanggalan dalam kematian Kasmir Timumun, warga Buol curiga bahwa tewasnya Kasmir tidak dengan cara gantung diri akan tetapi Kasmir tewas karena dianiaya oleh oknum polisi, hal itu terlihat dari bagian jasad tubuh Kasmir dimana terdapat bagian tubuhnya yang lebam dan leher hitam dengan bekas jeratan[3].
Konflik yang terjadi di Buol mendapat tanggapan cepat dari Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan segera bertindak cepat menyikapi insiden penyerangan warga ke Polsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Selasa (31/8/2010) malam. Kapolri segera mengutus wakilnya, Komjen Pol Jusuf Manggabarani ke lokasi kejadian. "Kapolri perintahkan Wakapolri dan tim yaitu Propam dan Intelijen untuk ke TKP (tempat kejadian perkara) untuk melakukan investigasi internal dan eksternal," kata Kadiv Humas Polri Brigjen Iskandar Hasan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (1/9/2010)[4].
Setali tiga uang Wakapolri Komjen Pol Jusuf Manggabarani dan tim akan mengusut tuntas penyebab sebenarnya insiden kerusuhan di Buol, Sulawesi Tengah termasuk menginvestigasi prosedur penembakan yang dilakukan aparat kepolisian kepada warga. Hal tersebut dikatakan Kadiv Humas Polri Brigjen Iskandar Hasan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (1/9/2010).
"Kalau ada kesalahan teknis di lapangan, akan diambil tindakan tegas," ungkap Iskandar menegaskan. Wakapolri dan tim akan menggali informasi mengenai prosedur pengamanan yang dilakukan aparat kepolisian Polsek Biau, Kabupaten Buol hingga mereka akhirnya terpaksa menembakkan peluru ke arah kelompok masyarakat.
"Bagaimana prosedur senjata api itu digunakan. Setiap butir peluru harus dipertanggungjawabkan," ucapnya. Ada informasi semua yang tewas tertembak? Apa memang mereka tertembak? "Ini kita dalami, ini tidak dapat ditutupi. Kan ada tim," katanya[5].
 Tewasnya tujuh masyarakat sipil di Buol oleh peluru polisi Polsek Biau mencerminkan bahwa aparat negara -polisi- kita masih menggunakan pola penyelesaian konflik dengan cara kekerasan dimana salah satu jalannya adalah dengan menggunakan penembakan. Kondisi tersebut terjadi akibat kekuasaan yang terlalu dominan yang dimiliki oleh aparat sehingga terjadi penyelewengan dan praktek kekuasaan yang disalahgunakan dalam penyelesaian konflik di Buol. Praktek kekerasan yang dilakukan oleh polisi semakin mengukuhkan citra polisi dan lembaga kepolisian sebagai lembaga pembentuk polisi yang berperilaku dan mempunyai watak kekerasan.
Tertembaknya tujuh masyarakat sipil di Buol merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparatur negara –polisi-, pelanggaran yang menjadi budaya dalam kepolisian kita. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di Muka Umum[6] pada Pasal 3 dijelaskan tentang asas-asas peraturan Kapolri dimana salah satu poinnya adalah kegiatan/penindakan memperhatikan dan menghargai hak hak dasar manusia (tidak sewenang-wenang).
 Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dalam ruang-ruang aksi yang dilakukan oleh massa, aparatur –polisi- harus memperlihatkan keberpihakan untuk melindungi massa ketika aksi berlangsung -baik aksi yang chaos-. Namun yang terjadi tindakan yang dilakukan oleh polisi di Buol sangat jauh dari pelaksanaan peraturan tersebut.
Perilaku yang diperlihatkan oleh aparatur negara -polisi- di Buol adalah cerminan perilaku aparatur negara kita, bahwa masih banyak aparatur negara yang tidak mengimplementasikan peraturan secara benar dan sesuai prosedural. Polisi yang seharusnya menjadi aparat terdepan dalam penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat justru menjadi aparat yang terdepan dalam melanggar mekanisme prosedural hukum di negeri ini. Dan yang lebih fatal adalah polisi menjadi bagian dalam melanggengkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.


[1] http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/09/01/20514221/Dua.Orang.PNS.Tewas Satu.Kritis
[2] http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/09/01/brk,20100901-275683,id.html
[3] http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/09/01/brk,20100901-275724,id.html
[4] http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/09/01/1617079/Kapolri.Perintahkan.Wakapolri.ke.Buol
[5]http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/09/01/16271262/Penembakan.Kepala.Langsung.Diinvestigasi
[6] Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum