TENTANG

Jumat, 03 September 2010

Kasus Buol, Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Aparat


Kasus bentrok warga Buol dengan polisi Polsek Biau sejak Senin malam (31/08/10)  hingga Rabu malam (01/09/10) di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah menyisakan duka kelam, tujuh masyarakat sipil tewas dalam kejadian tersebut. Saktipan, Herman Hasan, Amran Abjalu, Rasyid S Jopori, Ridwan D Majo, Arfan Salakea dan Muslimin Ashora adalah masyarakat sipil yang menjadi korban tewas tertembak di bagian kepala dalam bentrok di Buol[1].
Bentrok di Buol terjadi atas rasa ketidakpuasan dan sikap protes warga Buol yang menginginkan kejelasan informasi mengenai tewasnya seorang warga Buol, Kasmir Timumun (19 tahun) seorang tukang ojek yang tewas di penjara polsek Biau dengan cara gantung diri. Sekitar 300 warga mendatangi Kantor Polsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah pukul 21.30 selasa malam dan akhirnya bentrok antara warga dan polisi terjadi[2]. Protes yang dilakukan oleh warga Buol dilakukan atas kecurigaan mengenai ada kejanggalan dalam kematian Kasmir Timumun, warga Buol curiga bahwa tewasnya Kasmir tidak dengan cara gantung diri akan tetapi Kasmir tewas karena dianiaya oleh oknum polisi, hal itu terlihat dari bagian jasad tubuh Kasmir dimana terdapat bagian tubuhnya yang lebam dan leher hitam dengan bekas jeratan[3].
Konflik yang terjadi di Buol mendapat tanggapan cepat dari Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan segera bertindak cepat menyikapi insiden penyerangan warga ke Polsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Selasa (31/8/2010) malam. Kapolri segera mengutus wakilnya, Komjen Pol Jusuf Manggabarani ke lokasi kejadian. "Kapolri perintahkan Wakapolri dan tim yaitu Propam dan Intelijen untuk ke TKP (tempat kejadian perkara) untuk melakukan investigasi internal dan eksternal," kata Kadiv Humas Polri Brigjen Iskandar Hasan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (1/9/2010)[4].
Setali tiga uang Wakapolri Komjen Pol Jusuf Manggabarani dan tim akan mengusut tuntas penyebab sebenarnya insiden kerusuhan di Buol, Sulawesi Tengah termasuk menginvestigasi prosedur penembakan yang dilakukan aparat kepolisian kepada warga. Hal tersebut dikatakan Kadiv Humas Polri Brigjen Iskandar Hasan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (1/9/2010).
"Kalau ada kesalahan teknis di lapangan, akan diambil tindakan tegas," ungkap Iskandar menegaskan. Wakapolri dan tim akan menggali informasi mengenai prosedur pengamanan yang dilakukan aparat kepolisian Polsek Biau, Kabupaten Buol hingga mereka akhirnya terpaksa menembakkan peluru ke arah kelompok masyarakat.
"Bagaimana prosedur senjata api itu digunakan. Setiap butir peluru harus dipertanggungjawabkan," ucapnya. Ada informasi semua yang tewas tertembak? Apa memang mereka tertembak? "Ini kita dalami, ini tidak dapat ditutupi. Kan ada tim," katanya[5].
 Tewasnya tujuh masyarakat sipil di Buol oleh peluru polisi Polsek Biau mencerminkan bahwa aparat negara -polisi- kita masih menggunakan pola penyelesaian konflik dengan cara kekerasan dimana salah satu jalannya adalah dengan menggunakan penembakan. Kondisi tersebut terjadi akibat kekuasaan yang terlalu dominan yang dimiliki oleh aparat sehingga terjadi penyelewengan dan praktek kekuasaan yang disalahgunakan dalam penyelesaian konflik di Buol. Praktek kekerasan yang dilakukan oleh polisi semakin mengukuhkan citra polisi dan lembaga kepolisian sebagai lembaga pembentuk polisi yang berperilaku dan mempunyai watak kekerasan.
Tertembaknya tujuh masyarakat sipil di Buol merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparatur negara –polisi-, pelanggaran yang menjadi budaya dalam kepolisian kita. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di Muka Umum[6] pada Pasal 3 dijelaskan tentang asas-asas peraturan Kapolri dimana salah satu poinnya adalah kegiatan/penindakan memperhatikan dan menghargai hak hak dasar manusia (tidak sewenang-wenang).
 Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dalam ruang-ruang aksi yang dilakukan oleh massa, aparatur –polisi- harus memperlihatkan keberpihakan untuk melindungi massa ketika aksi berlangsung -baik aksi yang chaos-. Namun yang terjadi tindakan yang dilakukan oleh polisi di Buol sangat jauh dari pelaksanaan peraturan tersebut.
Perilaku yang diperlihatkan oleh aparatur negara -polisi- di Buol adalah cerminan perilaku aparatur negara kita, bahwa masih banyak aparatur negara yang tidak mengimplementasikan peraturan secara benar dan sesuai prosedural. Polisi yang seharusnya menjadi aparat terdepan dalam penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat justru menjadi aparat yang terdepan dalam melanggar mekanisme prosedural hukum di negeri ini. Dan yang lebih fatal adalah polisi menjadi bagian dalam melanggengkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.


[1] http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/09/01/20514221/Dua.Orang.PNS.Tewas Satu.Kritis
[2] http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/09/01/brk,20100901-275683,id.html
[3] http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/09/01/brk,20100901-275724,id.html
[4] http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/09/01/1617079/Kapolri.Perintahkan.Wakapolri.ke.Buol
[5]http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/09/01/16271262/Penembakan.Kepala.Langsung.Diinvestigasi
[6] Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar